Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Bahan Bakar Nabati

Dengan pengalaman harga minyak bumi yang terus naik semenjak krisis minyak dunia pada 1973 serta kebutuhan yang semakin banyak akhirnya berbagai negara memutuskan untuk mengembangkan bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan minyak bumi. Indonesia sendiri sebenarnya juga ikut serta dalam pengembangan bahan bakar alternatif berupa bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Apalagi didorong dengan pemerintah orde baru yang mengumumkan bahwa harga bensin naik mulai pukul 00.00 dini hari tanggal 4 Januari 1982.

Menurut La Ode M. Abdul Wahid dalam papernya yang diterbitkan pada tahun 2005, Bio-ethanol dapat dibuat dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, sagu, dan tetes. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di  seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bio-ethanol atau gasohol.

Karenanya tidak heran kalau pada tahun 1982 BPPT telah mengawali pembangunan pabrik ethanol di Tulang Bawang yang berkapasitas 15,000 liter ethanol/hari yang setiap harinya memerlukan sekitar 90 ton bahan baku ubi jalar dan atau ubi kayu. Pembangunan pabrik ethanol tersebut dimaksudkan sebagai substitusi premium pada sektor transportasi. Pada tahun 1883 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi  (BPPT) melakukan pengkajian pemanfaatan campuran bio-ethanol dan premium pada bahan bakar kendaraan berbahan bakar premium di Indonesia atau yang sekarang lebih kenal sebagai E85. Namun sayangnya proyek ini terhenti pada tahun 1987 di mana saat itu harga minyak mulai merosot turun hingga awal 1990-an.

Melalui program B20, penggunaan bahan bakar nabati kembali dihidupkan kembali. B20 sendiri adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel dengan 80% bahan bakar minyak diesel jenis Solar. Nama campuran ini adalah Biosolar B20. Program ini mulai diberlakukan sejak Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Biosolar B20 ini sudah dijual kepada masyarakat sejak 1 September 2018.

Kelanjutan dari Biosolar B20 ini adalah Biosolar B30. Dengan dasar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, program Biosolar B30 sudah dimulai dan tersedia di SPBU mulai 1 Januari 2020. Sesuai dengan namanya, komposisi jenis bahan bakar ini berupa 30% biodiesel dengan 70% Solar. Kelak, pemerintah Indonesia bertekad untuk menggunakan B100 atau bio-ethanol murni sebagai bahan bakar. Berbeda dengan era 80an yang menggunakan ubi-ubian atau singkong, program biosolar ini menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakunya.

Meskipun sudah hampir 40 tahun sejak BPPT mengembangkan bahan bakar nabait, namun perkembangan bahan bakar nabati di Indonesia sebenarnya masih cukup lamban. Bahan bakar nabati dikelompokkan menjadi 4 generasi berdasarkan bahan bakunya sebagai berikut.

  • Generasi pertama menggunakan hasil pertanian yang bisa dimakan seperti jagung, tebu, sampai kelapa sawit.
  • Generasi kedua menggunakan hasil limbah seperti sisa makanan, sayuran busuk, limbah pertanian, dan semacamnya.
  • Generasi ketiga menggunakan bahan dari lautan seperti alga.
  • Terakhir generasi keempat yang menggunakan teknologi dan bahan khusus seperti tanaman yang dimodifikasi genetiknya agar sesuai untuk kebutuhan bahan bakar nabati.

Dari klasifikasi diatas, bisa dilihat kalau bahan bakar nabati di Indonesia masih merupakan generasi pertama sementara di negara-negara Eropa sudah umum menggunakan bahan bakar nabati generasi kedua. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali meskipun nantinya akan mengakibatkan masalah sosial seperti perebutan kebutuhan pangan dengan bahan bakar.

Kelebihan bahan bakar nabati adalah tentu saja lebih ramah lingkungan dengan gas buang yang dihasilkan lebih bersih dari polutan yang dihasilkan mesin dengan bahan bakar minyak konvensional. Selain itu, pembakaran juga lebih dingin sehingga lebih aman dengan kompresi tinggi. Tidak heran kalau kemudian banyak tuner diluar sana yang menggunakan ethanol (E85) sebagai bahan bakar mobilnya yang bertenaga lebih dari 800Hp.

Namun sayangnya, bahan bakar nabati ini punya beberapa kelemahan sebut saja energi yang dihasilkan lebih kecil dimana bensin murni misalnya menghasikan 114,000 BTU (British Thermal Unit) sementara bensin yang dicampur ethanol 85% (E85) hanya 81,800 BTU. Untuk minyak diesel sendiri menghasilkan 129,500 BTU sementara biodiesel B100 tidak jauh dengan 119,550 BTU per galon. Ini berarti penggunaan bahan bakar nabati akan lebih boros dibandingkan dengan penggunaan BBM konvensional. Selain itu, kandungan bahan bakar nabati juga lebih mudah menyerap air sehingga menurunkan kualitasnya ketika disimpan dalam waktu yang lama.

Mobil Tua Pakai Biofuel

Pada awal diciptakan Ford Model T pada awal 1900an sebagai mobil yang mempu dijangkau orang kebanyakan, Model T sudah tersedia sebagai mobil yang mampu menggunakan ethaanol sebagai bahan bakarnya. Namun karena minyak bumi yang lebih murah dan mudah untuk digunakan seperti misalnya mesin lebih mudah hidup ketika suhu dingin membuat pabrikan mobil mulai meninggalkan kompabilitas mobil yang mampu menggunakan ethanol.

Untuk mobil-mobil diesel era 80, 90 dan 2000an, macam LUV, Panther, Kuda, atau Kijang diesel tidak ada salahnya untuk mengganti beberapa komponen untuk menyesuaikan dengan penggunaan biosolar B30. Contohnya penggantian filter solar yang lebih cepat untuk mengurangi endapan sludge yang mungkin ada dan menyumbat filter solar, peremajaan fuel lines seperti selang minyak yang sudah terdegradasi, penggunaan filter ganda seperti truk atau water separator, serta penggunaan oli untuk bahan bakar diesel nabati.

Referensi :

La Ode M. Abdul Wahid. 2005. Pemanfaatan Bio-ethanol Sebagai Bahan Bakar Kendaraan Berbahan Bakar Premium.



Comments

  1. Ooh, ternyata riset untuk penggunaan bahan bakar nabati udah ada dari dulu ya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Risetnya bareng sama Brazil dimana Brazil mengandalkan tebu sementara Indonesia singkong. Sekarang Brazil sudah sukses pakai e85 sama bio diesel sementara di Indonesia baru saja bio solar b30.

      Delete
  2. Tapi kelemahan biodiesel ini, solarnya jd gampang basi & klo kelamaan disimpan (*seminggu saja) kandungan air & parafinnya bakalan lebih bnyk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, kelemahan bahan bakar nabati adalah mengikat air

      Delete

Post a Comment