Penciutan Merek Mobil di Indonesia 1978
Kalau membandingkan mobil-mobil yang dijual tahun 80an dengan tahun 70an, terlihat ada beberapa merk yang cukup populer menjual berbagai macam model tiba-tiba lenyap tidak berbekas. Pilihan mobil yang dijual oleh merk-merk yang tersedia juga mulai sedikit seperti misalnya Daihatsu, Suzuki dan Honda yang tidak menjual mobil kei seperti Fellow, Fronte dan TN7. Hal ini ternyata dikarenakan adanya kebijakan penciutan merk mobil di Indonesia pada tahun 1976.
Dengan dikeluarkannya SK Menteri Perindustrian No. 307/M/8/1976 yang berisikan ketentuan keharusan mempergunakan komponen buatan dalam negeri dalam perakitan kendaraan bermotor membuat pengusaha otomotif nasional saat itu berpacu untuk segera mewujudkan industrialisasi sektor otomotif di Indonesia. Ini karena dalam SK 307 tersebut, perusahaan-perusahaan perakitan yang dalam waktu tiga tahun tidak dapat memenuhi kandungan lokal yang ditetapkan pemerintah kemudian akan ditutup.
Benar saja, pada tahun 1979 diadakan kebijakan penciutan merek mobil yang peraturannya dituangkan dalam SK Menteri Perindustrian No. 169 tahun 1979 dan dieksekusi oleh Ir. A.R. Soehoed selaku menteri perindustrian saat itu. Dari 57 merek dan 140 tipe mobil dipangkas menjadi tinggal 30 merek dan 72 tipe mobil. Merk mobil yang dihentikan produksinya karena tidak mampu memenuhi tingkat kandungan dalam negeri ini bisa disimak pada tabel berikut ini.
Beberapa model pada tabel di atas sebenarnya sudah lama tidak lagi diproduksi pada tahun 1979. Namun karena ATPM masih menyimpan stok lama yang belum terjual, akhirnya dimasukkan kedalam tabel tersebut. Keterangan semua pada kolom "Tipe Stop Produksi" menunjukkan bahwa merk tersebut tutup dan tidak melanjutkan operasionalnya di Indonesia. Itupun untuk beberapa tipe tidak lama kemudian juga ikut tutup karena berbagai alasan termasuk tahap kedua dari kebijakan penciutan merek.
Kenapa Perlu Ada Penciutan Merk?
Tujuan dari penciutan merek mobil ini sebenarnya cukup baik. Pemerintah ingin menggenjot industri otomotif dalam negeri dimana ATPM tidak hanya sekedar merakit kit CKD yang diimpor tapi juga membuat komponen. Hal ini merupakan tindak lanjut dari SK bersama menteri perdagangan dan menteri perindustrian No. 32/M/SK/1/69. Dari SK ini kemudian berlanjut ke larangan impor mobil secara CBU untuk mengurangi inflasi akibat besarnya impor daripada ekspor pada neraca perdagangan. Juga aturan penciutan merk ini juga menjadi penyaring untuk komitmen jangka panjang membangun industri otomotif di Indonesia.
Sayangnya kebijakan ini malah membuat pengusaha-pengusaha otomotif yang lebih kecil tumbang. Maklum saja membangun kekuatan manufacturing secara penuh membutuhkan modal yang cukup besar. Akhirnya hanya yang kuat saja yang bertahan seperti Wiliam Soeryadjaja dengan grup Astra yang mengageni merek Toyota, Daihatsu, Peugeot, dan Renault; Sjarnubi Said yang mempunyai hubungan dengan Ibnu Soetowo sebagai pemilik Krama Yudha yang mengageni Mitsubishi; Probosutedjo yang memperoleh keagenan General Motors yang mengageni merek Opel dan Chevrolet; serta Lieam Sioe Liong melalui Indomobil mengageni merek Suzuki.
Juga Terjadi di Negara Lain : Amerika Serikat
Di negara dengan pasar bebas seperti Amerika, sebenarnya penciutan ini juga terjadi. Namun bedanya, sebagai pasar bebas penciutan terjadi secara alami karena konsep kapitalisme yang mana pemilik modal terkuat yang akan bertahan bukan karena intervensi pemerintah seperti di Indonesia. Semua ini mengikuti kemauan pasar sehingga agar tidak tergilas, merk-merk mobil di Amerika harus bisa merebut pangsa pasar yang cukup untuk menjadi modal agar bisa bertahan.
Pemerintah tidak peduli meskipun perusahaan mobil tersebut bangkut dan menimbulkan banyak pengangguran karena PHK atau malah sukses. Memang terjadi anomali seperti tahun 2008 ketika General Motor dan Chrysler hampir bangkrut karena krisis moneter 2008 sehingga pemerintah memberikan bantuan berupa bail out untuk keduanya. Namun secara umum pemerintah Amerika tidak peduli dimana bila mau pinjam uang untuk mencegah perusahaan bangkrut pun juga harus bayar hutangnya tepat waktu ditambah bunga seperti jaman Chrysler ketika diambil alih oleh Lee Iacoca yang akhirnya sukses membalikkan keadaan dan membayar hutang Chrysler lewat penjualan K-car yang laris lebih cepat 3 tahun dari tenggat waktu.
Pada tahun 1950an, selain big 3 dengan anak mereknya seperti Ford Motor Company dengan Ford, Edsel, Mercury dan Lincoln, General Motor dengan Chevrolet, Pontiac, Oldsmobile, Buick, dan Cadillac, serta Chrysler Coorporation dengan Plymouth, Dodge, DeSoto, Chrysler dan Imperial juga terdapat perusahaan otomotif independen. Misalnya ada Packard, Kaiser-Frazer yang membawahi Jeep, Studebaker, Nash, Hudson, Rambler, dan Metropolitan. Beberapa diantaranya kemudian bergabung dan menjadi AMC atau American Motor Corp dan menjadi perusahaan mobil nomor 4 di Amerika.
Sayangnya, American Motor kemudian mati pada akhir 80an dan diserap oleh Chrysler. Mobil-mobil AMC yang tersisa seperti AMC Medallion yang merupakan kerjasama dengan Renault kemudian dijual oleh Chrysler dalam merk baru yang disebut Eagle. Eagle ini adalah usaha Chrysler dalam melawan gempuran mobil-mobil Jepang seperti Toyota, Honda dan Nissan dengan menjual mobil Jepang seperti Mitsubishi yang dijual dalam merk Amerika.
Referensi
Purwanto, Erwan Agus. "Kebijakan Otomotif Indonesia 1966-1996: Memahami Konteks Politik Proses Lahirnya Kebijakan Publik". Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, vol. 1, no. 2, 1997, p.74 (diakses 10 Juni 2025)
Penciutan Merk Tahap Pertama. Mobil & Motor, Mei II 1980, 10-11.
Comments
Post a Comment